"Menipu Atas Nama Agama"

Tahun-tahun terakhir ini peminta sumbangan yang mengatasnamakan panitia pembangunan masjid, pondok pesantren atau rumah yatim makin marak. Apalagi di bulan Puasa seperti sekarang. Jumat kemarin dalam satu hari ada dua peminta sumbangan yang datang ke rumah saya dan keduanya berasal dari luar provinsi.

Mereka mengaku diutus oleh panitia pembangunan masjid di daerahnya. Salah seorang yang mengaku dari Jawa Timur datang ketika corong di masjid kami sudah mengumandangkan pembacaan Alquran pertanda waktu shalat Jumat sudah dekat. Anak muda ini membawa seberkas surat berstempel dan bersampul plastik yang sudah lusuh. Setelah berbasa-basi dengan bahasa yang sopan dia sodorkan kepada saya. Tapi saya tidak bersedia menerimanya.
"Saya sudah tahu isinya meminta sumbangan, kan?" tanya saya. Anak muda itu agak terperanjat."Betul," jawabnya."Kalau begitu sampaikan secara lisan saja." Kata saya sambil senyum. Anak muda itu kelihatan jatuh mentalnya. Tapi kemudian dia bicara mengenai pembangunan masjid yang sedang dibangunnya."Jauh dari Jawa Timur sampeyan datang minta sumbangan?Apakah masjid sampeyan dibangun di tengah masyarakat nonmuslim? Bukankah masyarakat Jawa Timur terkenal paling religius? Jadi hanya untuk membangun masjid ukuran sedang mengapa harus minta bantuan sampai kemari?""Saya hanya diutus, Pak.""Diutus atau tidak, saya ingin memberi tahu sampeyan. Kami di sini, dan di setiap tempat yang akan sampeyan kunjungi, juga punya masjid, madrasah, mushala, yang memerlukan dana untuk pememilharaan atau pembangunan. Artinya, masyarakat muslim di setiap daerah sudah menanggung beban sendiri. Kami di sini malah punya masjid yang berhenti dibangun karena kehabisan dana. Jelasnya, maaf, saya tidak bisa memenuhi permintaan sampeyan."Anak muda itu berpamitan. Dan di pinggir jalan sudah menunggu dua temannya yang berpakaian dan berpeci seragam. Rupanya mereka datang dalam rombongan.

Saya sadar tindakan saya bisa dinilai kurang arif. Padahal saya tahu memang ada peminta sumbangan yang benar-benar diutus oleh panitia pembangunan masjid atau pesantren. Tapi tindakan saya terdorong oleh pengalaman bertahun-tahun menghadapi para peminta sumbangan semacam itu.
Menurut keyakinan saya peminta sumbangan yang sebenarnya jauh lebih kecil jumlahnya daripada peminta sumbangan yang penipu. Anak muda tadi misalnya, sama sekali tidak terpengaruh oleh suasana di masjid kami yang sudah ramai dengan orang yang datang mau berjamaah Jumat. Padahal masjid itu berada di samping rumah saya. Jadi, benarkah dia berasal dari kalangan santri?

Sekali waktu datang peminta sumbangan, seorang gadis berjilbab. Tapi wajahnya tidak memperlihatkan kesan orang yang biasa berwudu. Ketika saya tanya di mana dia menginap karena mengaku berasal dari pesantren yang jauh, dia kelabakan. Setelah saya beri uang sekadar untuk membeli minum, dia pamit sambil mengulurkan tangan minta bersalaman. Nah, kyai mana yang mengajari santri putrinya boleh bersalaman dengan lelaki bukan muhrim?
Pada kesempatan lain saya melihat beberapa anak muda di sudut terminal kota. Mereka sedang membubuhkan stempel pada proposal yang hendak mereka bawa untuk minta sumbangan. Pertanyaannya, berapa ratus atau ribu orang yang akan menjadi korban penipuan mereka?

Situasi yang brengsek ini seharusnya tidak dibiarkan berkepanjangan. Ada beberapa hal bisa kita lakukan. Pertama, panitia pembangunan sarana agama hendaknya menempuh cara yang lebih bermartabat bila bermaksud meminta sumbangan. Misalnya, hanya minta sumbangan di daerah sendiri atau hanya kepada pribadi tertentu yang sudah dikenal.

Dengan membatasi sasaran dan wilayah, pengumpulan dana bisa lebih bermartabat serta terkontrol. Kedua, masyarakat hendaknya tidak memberi sumbangan kepada peminta yang meragukan. Jangan cepat percaya dengan proposal yang berstempel lengkap dengan kepala surat karena barang itu bisa dibuat di pinggir jalan.

Memang tidak mudah menampik permintaan sumbangan yang mengatasnamakan lembaga agama. Kita sering merasa bersalah. Namun rasa bersalah itu mudah sekali mengobatinya. Yakni dengan memberikan sumbangan kepada lembaga agama yang ada di sekitar kita. Itu jelas sampai ke sasaran. Jangan biarkan kepedulian kita terhadap agama dimanipulasi dan dieksploitasi orang yang tidak bertanggung jawab. Ingat pula akan ungkapan; kebaikan kita sangat mudah dimanfaatkan oleh dan untuk kepentingan orang lain.
(AHMAD TOHARI )
Resonansi Republika, Senin 02 Oktober 2006