MIGRASI

Maaf kepada para pengunjung blog ini. Mulai sekarang anda dapat mengunjungi alamat blog saya yang terbaru. Klik di sini!

FORUM KOMUNIKASI ANGKATAN MUDA MUHAMMADIYAH GRESIK

Ada sebuah keunikan pada Musyawarah Daerah (Musyda) Bersama Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) Gresik yang berlangsung pada 8 Juli 2007 kemarin. Jika biasanya tiap Ortom menggelar Musyda-nya sendiri-sendiri, maka Musyda kemarin dilangsungkan bersama dalam satu waktu dan satu tempat. Kiranya tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa Musyda Bersama yang baru lalu bisa menjadi harapan sebagai titik tolak pergerakan Angkatan Muda Muhammadiyah yang lebih sinergis. Mengambil tema “Bersatu kita teguh, bersinarlah Muhammadiyah-ku”, Musyda Bersama seakan menandai komitmen AMM dalam berjuang dengan lebih dinamis dan harmonis.

Tema ini dirasa sangatlah relevan dengan konteks dinamika internal dan eksternal persyarikatan Muhammadiyah yang terasa bagai kurva menurun. Dalam banyak hal, Muhammadiyah mengalami banyak kemunduran, alih-alih menggalakkan progresifitas gerakan seperti amanat ciri gerakan Tajdid. Pemahaman keagamaan yang moderat dinilai mengacuhkan tradisi klasik, Pendidikan yang mengalami disparitas kualitas kota-daerah dan ketidak-berimbangan kuantitas dengan kualitas serta modus kerja yang mulai birokratik sehingga tidak respon dengan permasalahan di akar rumput, keterjebakan pada politik praktis dalam ranah yang sempit dan yang tidak kalah penting adalah melemahnya militansi dan ideologi Muhammadiyah, bahkan pada level pimpinan. Kondisi persyarikatan yang menuju titik nadir ini seyogyanya diwaspadai oleh semua elemen persyarikatan dan harus segera disiapkan tindakan preventif yang tidak hanya berupa wacana reflektif.

Musyda Bersama kemarin mengandaikan praksis gerakan yang lebih konkrit, yakni terutama dalam hal sinergi gerakan dan konsolidasi internal organisasi. Bukan rahasia lagi jika dalam persyarikatan kita, persoalan seputar generasi muda Muhammadiyah sudah berada pada stadium akut. Kesulitan mencari kader menjadi hal yang umum di semua elemen organisasi, baik struktur horisontal (majelis, lembaga, ortom) maupun vertikal (ranting sampai pusat). Kesulitan ini ditambah lagi dengan dekadensi ideologi yang banyak membuat kader Muhammadiyah lari dan berpaling kepada gerakan lain.

Kita dapat mengidentifikasi secara general permasalahan ini pada beberapa poin, yakni:

1. Komunikasi

Intensitas komunikasi yang rendah antar personil ortom maupun antar ortom menjadi penyebab dishamoni dalam persyarikatan. Mungkin kita bisa menyangkal hal ini dengan mengatakan bahwa ortom dalam Muhammadiyah adalah organisasi se-visi yang implikasi logisnya selalu bersama-sama dalam gerakan dan pemikirannya. Namun kenyataan menunjukkan hal yang sebaliknya.

Seperti kita lihat (dan kita rasakan), jarang sekali—kalau tidak dikatakan tidak pernah—ortom Muhammadiyah mengadakan kegiatan bersama, kalaupun ada mungkin hanya sebatas rutinitas periodik, seperti Musyawarah atau pelantikan. Anggota satu ortom tidak saling kenal dengan anggota ortom yang lain.

Komunikasi yang kurang intensif juga bisa membuat kader tidak paham akan strukturisasi organisasi sehingga ketika dia keluar dari satu ortom, tidak dilanjutkan dengan masuk pada ortom lain. Katakanlah kader IRM (mungkin nanti IPM) yang sudah bukan R (Remaja) lagi, tidak melanjutkan ke Pemuda atau IMM (jika dia masuk Kuliah). Anggota ortom juga kesulitan mencari generasi karena keterputusan komunikasi dan informasi dengan ortom lain.

Hal ini bisa menjadi bahaya laten persyarikatan, mengingat bahwa jebolan generasi mudanya-lah yang akan menggantikan posisi pimpinan persyarikatan Muhammadiyah.

2. Ideologi

Beberapa kasus yang mencuat akhir-akhir ini seputar kader adalah banyaknya generasi muda Muhammadiyah yang lari dan berpaling pada gerakan lain, semacam tarbiyah. Menarik untuk mencermati simpang-siur pendapat tentang hal ini. Dari pihak Muhammadiyah banyak yang menyalahkan organisasi yang menarik kader kedalam gerakan mereka, disisi lain, mereka yang berpaling menganggap bahwa Muhammadiyah sudah “kering” nuansa religius dan aktifitasnya.

Hal ini juga tidak terlepas dari lemahnya penanaman ideologi Muhammadiyah. Kontribusi lembaga pendidikan Muhammadiyah—yang idealnya, seperti tertuang dalam kaidah pendidikan, adalah terwujudnya tujuan Muhammadiyah, mengandaikan terwujudnya kader persyarikatan—belum begitu signifikan dalam ideologisasi ini. Pengetahuan tentang kemuhammadiyahan begitu lemah sehingga mudah goyah. Nilai filosofis dasar perjuangan seperti dalam MKCHM, Mukaddimah AD/ART, Langkah 12, Khittah Perjuangan menjadi barang asing, bahkan bagi pimpinan dan aktivis Muhammadiyah.

3. Sinergi

Dalam sebuah persyarikatan dengan struktur organisasi yang kompleks seperti Muhammadiyah di mana ada banyak ortom dan majelis di dalamnya, permasalahan independensi kadang berbenturan dengan sinergitas. Memang setiap ortom dan majelis/bidang wajib merancang program kerja dan kebijakan secara independen, namun sinergi gerakan dengan elemen organisasi yang lain tidak boleh diabaikan. Mudahnya, program kerja dan kebijakan antar ortom, majelis atau bidang jangan sampai berseberangan, tetapi melengkapi.


KONSOLIDASI INTERNAL

Menyikapi perkembangan diatas, seperti dikatakan Haedar Nashir dalam situs resmi PP Muhammadiyah, kita perlu melakukan konsolidasi internal (yang mana hal ini juga diamanatkan dalam SK PP no. ). Konsolidasi internal yang dimaksud antara lain:

1. Menanamkan kembali kepada anggota mengenai hakikat Muhammadiyah sebagai gerakan Islam agar seluruh anggota Persyarikatan yakin dan paham betul akan kebenaran Islam yang menjadi misi utama Muhammadiyah, sehingga tidak ragu-ragu dan tidak memilih gerakan lain

2. Memahami dan menghayati secara mendalam mengenai hakikat Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang melaksanakan dakwah dan tajdid, sehingga mereka berada dalam posisi untuk menampilkan Islam yang bersifat pemurnian sekaligus pembaruan, tidak semata-mata pemurnian ala Wahabiyah atau Salafy yang rigid, juga sebaliknya tidak terjebak pada sekularisasi pemikiran Islam yang lepas dari sumbu dasar Islam

3. Menggerakkan Muhammadiyah dalam melaksanakan dakwah dan tajdid melalui usaha-usahanya secara ikhlas, sungguh-sungguh, gigih, dan berkelanjutan; sehingga secara istiqamah dan militan menjadi kekuatan umat yang berjuang menegakan dan menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya

4. Menggalang ukhuwah dan soliditas internal gerakan sehingga menjadi kekuatan yang kokoh; tidak tercerai-berai, dan tidak berpaling ke gerakan lain apapun bentuknya apalagi gerakan politik kendati bersayap dakwah sebab Muhammadiyah merupakan gerakan dakwah yang sudah teruji dan tidak ada kepentingan politik kekuasaan

5. Mengembangkan sistem gerakan melalui penguatan jama‘ah, jam‘iyah, dan imamah sehingga gerak Muhammadiyah berjalan secara terorganisasi dan kuat; memiliki disiplin organisasi yang tinggi, dan semuanya hanya bernaung dalam sistem Muhammadiyah secara utuh

6. Menyiapkan sumberdaya manusia dan kader yang unggul, militan, cerdas, dan siap membela organisasi dengan istiqamah dan rasa memiliki dan berkomitmen yang tinggi

7. Menata dan mengkonsolidasi kembali seluruh amal usaha sebagai alat/kepanjangan misi Persyarikatan sekaligus ajang kaderisasi Muhammadiyah, termasuk menyeleksi dan membina seluruh orang yang berkiprah di dalamnya, sehingga amal usaha itu benar-benar mengikatkan, memposisikan, dan memfungsikan diri sebagai milik Muhammadiyah, dan bukan milik mereka yang berada di amal usaha apalagi nilik organisasi lain; yang harus dikelola dengan sistem dan disiplin organisasi Muhammadiyah

8. bersikap tegas terhadap organisasi manapun yang masuk dan dapat mengganggu tatanan serta kelangsungan Muhammadiyah, lebih-lebih terhadap partai politik apapun termasuk partai politik yang mengemban misi dakwah sebagai mereka adalah organisasi lain yang berada di luar; bahwa semuanya harus dibingkai ukhuwah tentu saja tetapi harus bersikap timbal-balik dan saling mengormati

9. Melakukan langkah-langkah pembinaan anggota secara intensif dan sistematik dengan pendekatan-pendekatan klasik dan baru agar tumbuh sebagai anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyahh yang istiqamah dan membela sepenuh hati misi serta kepentingan Muhammadiyah, lebih-lebih di saat kritis dan harus memilih

10. Mengembangkan usaha dan kemampuan-kemampuan kompetitif serta jaringan-jaringan kerjasama secara independen dengan pihak manapun sehingga Muhammadiyah menjadi gerakan yang unggul dan dirasakan kehadirannya sebagaimana layaknya gerakan Islam yang terbesar di negeri ini.

Atas dasar semua hal diatas, maka amatlah relevan dan urgen kiranya semua elemen Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) baik itu Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Nasyiatul ‘Aisyiyah (NA) dan Pemuda Muhammadiyah (PM) berusaha untuk mulai mewujudkan nuansa pergerakan yang lebih solid, komunikatif dan sinergis. Mengingat bagaimanapun generasi muda Muhammadiyah nantinya akan menjadi penerus keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyah.

Forum Komunikasi Angkatan Muda Muhammadiyah (Forkom-AMM), sesuai namanya, adalah sebuah forum yang menjadi media komunikasi inter dan intra ortom Muhammadiyah, baik secara struktural-organisatoris maupun kultural-personal.

Embrio pembentukan Forkom-AMM ini telah muncul pada saat Musyda yang baru lalu, yakni tersirat pada tema Musyda: Bersatu Kita Teguh, Bersinarlah Muhammadiyah-ku. Jika setelah Musyda ternyata Angkatan Muda Muhammadiyah masih belum bisa mewujudkan persatuan yang digadang-gadangkan itu, maka berarti tema Musyda kemarin hanyalah sebuah Jargon omong kosong.

Bagaimana tanggapan kawan-kawan yang lain?

Seharusnya Minimal S2

Pemilihan presiden adalah masalah politik. Politik adalah siapa mendapatkan apa, di mana, kapan, dan bagaimana caranya. Itu adalah landasan umum semua kegiatan perpolitikan nasional kita.

Setiap orang yang terlibat dalam politik selalu menggunakan definisi artifisial tentang politik seperti itu dalam setiap usaha mereka untuk mendapatkan kemenangan. Mengutip syair Iwan Fals, Cubit sana cubit sini, itu sudah lumrah.

Usul pemerintah agar capres minimal berijazah S-1 pun tidak terlepas dari tendensi-tendensi politik, meski mereka menggunakan argumen yang logis. Penolakan berbagai kalangan pun sarat dengan tendensi-tendensi politik, meski dengan argumen yang lebih sedikit memaksa.

Seperti kita ketahui, sejak Depdagri mengusulkan revisi paket UU Politik atas permintaan Komisi II DPR untuk draf RUU Pilpres, pro-kontra tentang usul tersebut langsung mencuat, terutama berkaitan dengan sarat batas perolehan suara untuk partai dan syarat presiden berijazah minimal S-1. SBY langsung menyatakan bahwa pihak istana tidak ikut campur dalam usul tersebut dan banyak kalangan, baik politisi maupun legislatif, yang menolak (JP, 18 Maret 2007).

Megawati sebagai salah seorang capres yang terancam terganjal usul tersebut langsung menolak. Sebab, dia belum lulus S-1. Ketua umum PPP dalam sebuah istighotsah dengan ulama NU juga menolak serta menyatakan bahwa "orang berpendidikan belum tentu bisa menjadi pemimpin dan banyak kiai yang pemikirannya melebihi profesor". Di lain pihak, Amien Rais dan Eep setuju terhadap usul tersebut (JP, 190307).

Pengalaman politik kita mengajarkan bahwa yang dilakukan politisi kita selalu dipengaruhi kepentingan pribadi dan partai. Yaitu, untuk mendulang suara dan memenangkan jagonya dalam pemilu, penuh intrik dan taktik. Sikap politisi kita dalam kontroversi tersebut juga tidak jauh dari hal itu. Pernyataan SBY bahwa pihak istana sama sekali tidak ikut campur mungkin sekadar membuat stigma bahwa dirinya tidak berniat menjegal lawan politik dengan RUU itu, meski sangat diuntungkan karena Megawati sebagai pesaing utama akan kandas.

Sementara itu, penolakan Megawati terhadap usul itu agar dirinya bisa lolos dalam pemilu, mengingat dia belum lulus S-1, dan pernyataan ketua PPP di depan publik NU tentu ditujukan meraih simpati warga NU (yang mungkin tersinggung usul pemerintah itu).

Logika Salah

Sebagian besar -kalau tidak semua- argumen penolak usul revisi UU itu menyandarkan pada alasan bahwa (1) orang yang lulus sarjana belum tentu bisa menjadi pemimpin. (2) Banyak pemimpin pada masa lalu yang berhasil, meski bukan sarjana. (3) Sebagian besar rakyat Indonesia tidak berijazah S-1, sehingga RUU tersebut sama dengan pembunuhan "demokrasi".

Logika yang digunakan tersebut sangat salah kaprah. Untuk yang pertama, orang yang sarjana belum tentu bisa menjadi pemimpin yang baik, itu memang benar. Tapi, orang yang sudah lulus sarjana sudah dididik untuk berpikir rasional, mengambil kesimpulan yang benar, dan kompetensi yang mendukung (seperti alasan Amien). Kesimpulan seharusnya, kalau sarjana saja belum tentu bisa menjadi pemimpin yang baik, apalagi yang belum sarjana.

Kedua, banyaknya pemimpin yang berhasil pada masa lalu bukan merupakan referensi yang baik bagi kita untuk merumuskan kebijakan pembangunan masa mendatang. Budaya dan konteks sosial saat ini membutuhkan pemimpin yang tidak hanya memiliki banyak uang dan massa, tapi juga berpendidikan.

Ketiga, banyaknya rakyat Indonesia yang belum sarjana tidak bisa dijadikan standar bagi capres. Presiden adalah pemimpin dan pemimpin harus lebih pandai daripada rakyatnya. Apakah kalau rakyatnya bodoh, presidennya harus ikut bodoh? Satu lagi, demokrasi bukan seperti polling yang mendasarkan diri pada suara mayoritas. Demokrasi adalah musyawarah terhadap pilihan yang terbaik, bukan terbanyak!

Jika Anda seorang pemilik perusahaan yang sedang mencari direktur dan disuruh memilih antara seorang yang sudah sarjana dan kompeten, meski tidak punya banyak uang, dengan seorang yang tidak pernah sekolah, tidak berpendidikan, dan hanya mengandalkan uang serta massa, mana yang Anda pilih?

Mengapa sekarang lowongan kerja mensyaratkan ijazah minimal? Sebab, setidaknya konsekuensinya, si pelamar mempunyai kompetensi minimal. Jika Anda mencari seorang akuntan, mana yang Anda pilih, lulusan S-1 ekonomi atau SD?

S-1 Masih Kurang

Sebenarnya, kalau kita mau jujur, presiden malah harus sudah menempuh pendidikan lebih dari S-1. S-2 mungkin atau S-1 dua kali. Banyak di antara rakyat kita yang sudah lebih dari S-1.

Pemimpin harus lebih pandai daripada rakyatnya. Kalau tidak, jika dia jadi presiden, kebijakan yang diambil adalah kebijakan orang-orang di balik layar. Dia hanya presiden boneka. Akan banyak kebijakan yang diambil menimbulkan masalah karena orang yang tidak berpendidikan hanyalah orang yang menimbulkan masalah.

Meski, kita tidak menutup mata bahwa syarat ijazah minimal bisa diakali, namanya saja politik. Andai saja usul Depdagri tersebut disetujui, besoknya para capres pasti sudah bergelar sarjana. Ijazah bisa dibeli.

Memang, syarat utama menjadi presiden di Indonesia sejak dulu belum berubah: punya banyak uang, punya banyak massa, punya banyak akal (bulus), tidak jadi soal dia pandai atau tidak, tidak jadi soal bermoral atau tidak, dan tidak jadi soal apakah sarjana atau tidak.
Jawapos, Senin 20 Maret 2007

BUDAYA NDADAK

“Seorang laki-laki pingsan di rumah sakit. Seseorang bertanya kepada suster, apa yang terjadi?, jawab suster: “Dia bermaksud membawa istrinya yang hamil, dengan tergesa-gesa, tetapi yang terbawa hanya bantalnya saja”

Humor diatas tentu sering kita baca dan dengar, apalagi bagi yang hobi surfing humor baik di situs internet maupun buku-buku yang seabrek disediakan berbagai penerbit. Lelaki dalam cerita diatas tentu tidak akan mengalami hal di atas sekiranya dia mempersiapkan segalanya dengan terencana. Menyadari kandungan istrinya mulai memasuki bulan-bulan terakhir seharusnya dia Siap-Antar-jaGA (SIAGA) dan tidak tergesa-gesa serta Ndadak.

Budaya Ndadak (jw: tiba-tiba) secara tidak disadari telah menjadi budaya kita. Iihatlah di sekeliling kita—atau bahkan diri sendiri—pada saat melakukan berbagai kegiatan, pasti ada saja yang kurang, ada yang belum dipersiapkan, sementara limit waktu tidak mentolelir keterlambatan dalam bentuk sekecil apapun. Akibatnya, ketergesa-gesaan menjadi sesuatu yang bisa dan biasa dilakukan semua orang. Kita lihat dalam setiap kegiatan, peserta datang terlambat karena berangkatnya Ndadak, fasilitas yang disediakan belum datang karena pesannya Ndadak, panitia merasa belum sepenuhnya siap karena konsep acaranya Ndadak. Sampai-sampai ada idiom yang seolah-olah menjadi milik umum: “Jam karet”. “Jam karet” hanya ada di Indonesia, ini produk asli bangsa kita, hanya saja belum berkualitas ekspor karena terbukti tidak ada negara luar yang mau membelinya.

Apa sebenarnya yang membuat budaya Ndadak ini menjadi fenomena sosial yang umum, bahkan berskala nasional? Ini dikarenakan sistem sosial-budaya yang kita konstruk memang mengandaikan hal itu. Mulanya manusia menciptakan sistem, kemudian sistem itulah yang akan menciptakan manusia. Sistem sosial-budaya ini sederhananya dapat kita katakan sebagai “kebiasaan”. Jika Ndadak adalah kebiasaan yang terus dipupuk maka ia akan tumbuh subur sebagai suatu budaya. Kebiasaan menunda pekerjaan sehingga menumpuk diakhir waktu itulah yang memunculkan budaya Ndadak. Kalau kita perhatikan, ini bertentangan dengan salah satu atsar : “Jangan tunggu besok apa yang dapat kamu lakukan hari ini”. Never till of tomorrow what can you do today.

Ada dua sistem yang kita kenal, dalam hubungannya dengan subyek, yaitu sistem personal dan sistem sosial. Sistem personal secara sederhana dapat dikatakan sebagai kebiasaan tiap orang dan sistem sosial sebagai kebiasaan masyarakat secara keseluruhan. Karena dalam melakukan setiap aktivitasnya sebagian besar kita berada dalam lingkaran sosial, maka kedua sistem ini berkaitan. Sistem sosial sebenarnya adalah akumulasi sistem personal. Jadi jika kita ingin mengubah budaya Ndadak ini, maka yang pertama kali perlu untuk dilakukan adalah menghilangkan kebiasaan buruk ini pada diri kita masing-masing. Jika semua orang melakukannya maka sistem sosial juga akan berubah.

Budaya Ndadak oleh pelajar
Ndadakisme yang sering dilakukan pelajar adalah dalam hubungannya dengan persiapan ujian. Baik ulangan harian, semester atau UNAS. Dalam ulangan kita sering Ndadak menyiapkan diri dengan belajar SKS (sistem kebut semalam).
Dalam UNAS juga begitu, hal yang amat menentukan kelulusan ini kita persiapkan hanya dalam waktu—maksimal—satu semester, bahkan banyak yang baru merasa gelisah jika sudah memasuki H-7. Padahal ini bisa kita antisipasi dalam jangka waktu seluruh masa studi kita. Ada tiga tahun untuk mempersiapkan semuanya. Jika dalam pelajaran ada yang tidak kamu pahami, mengapa malu untuk bertanya? Ke”malu”an untuk bertanya itu sangat memalukan, yang akhirnya menumpuk selama tiga tahun menjadi ketidakpahaman yang baru kita sadari pada saat mengerjakan soal. Semoga tidak!!

RELEVANSI MAULID DI ERA GLOBALISASI

Dulu, sekitar 2001 tahun kebelakang (menurut penanggalan Hijriah) telah lahir seorang anak manusia yang mampu merubah tatanan dunia. Meninggalkan warisan yang mendalam dalam sejarah kebudayaan manusia. Memutar balik sosio-kultural masyarakat Arab dari tribalisme pada persaudaraan dan kesaudaraan (Brotherhood). Membawa ajaran tauhid yang menjadi landasan kehidupan menggantikan kepercayaan polytheistik. Dialah Nabi Muhammad SAW, Rasulullah dan penutup para nabi.
Nabi Muhammad adalah presentasi sempurna manusia sebagai khalifatullah. Nabi Muhammad saw adalah nama terbesar sepanjang sejarah manusia. Sebuah syair Arab melukiskan: Muhammad basyarun laa kal basyar, bal huwa kal yakut bainal hajraini"Muhammad saw adalah manusia biasa seperti manusia yang lain, tapi ia bersinar laksana mutiara diantara dua batu hitam". Bahkan orientalis pun mengagumi pribadi nabi.
Dengan berbagai tolak ukur, mereka menempatkan nabi sebagai manusia terbesar sepanjang sejarah kemanusiaan. Sebut saja Thomas Charlyle dengan tolak ukur "kepahlawanan", Marcos Dods dengan "keberanian moral", Nazmi Luke dengan "metode pembuktian ajaran", Will Durant dengan "hasil karya" dan terakhir Michael H. Hart dengan "pengaruh yang ditinggalkan".
Relevansi Maulid
Perlu diketahui bahwa peringatan Maulid seperti yang ada sekarang ini bukanlah ajaran nabi sendiri. Sebagian besar ahli sejarah sepakat bahwa perayaan Maulid terjadi pertama kali pada pemerintahan Salahuddin Al Ayyubi (.1138-1193) yang pada mulanya difungsikan sebagai pemompa semangat juang pasukan muslim dalam perang Salib. Di sini kita tinggalkan dulu perdebatan mengenai boleh tidaknya peringatan Maulid nabi, yang perlu kita renungkan adalah jika memang kita merayakan maulid, maka hikmah apakah atau keteladanan apakah yang perlu kita gali dari pribadi nabi. Apa yang bisa kita transformasikan kedalam diri kita melalui refleksi ini?
Adalah perlu untuk kita tekankan bahwa Nabi Muhammad saw adalah manusia biasa seperti kita, bukan penjelmaan Tuhan seperti konsepsi Kristiani tentang Yesus, atau--seperti yang ditulis Emha--untuk menjadi seperti itu, nabi juga perlu usaha. Beliau berjuang untuk jujur, rendah hati, dan sebagainya. Ini pelajaran awal bagi kita bahwa kita pun bisa "seperti" nabi, dalam artian berusaha menjadi manusia sempurna (istilah Nietze) atau Insan Kamil (bahasa al-Qur'an). Mungkin benar jika nabi mendapat bimbingan dan petunjuk dari Allah, tetapi itu melalui Jibril dan kini giliran kita meneladani nabi dengan petunjuk Allah melalui ajaran nabi.
Keadaan sosio-kultural masyarakat Arab sebelum turunnya wahyu yang pertama sangatlah kacau. Budaya Tribalisme tinggi mengharuskan suku-suku kecil berlindung dibawah kekuasaan suku yang disegani. Pembunuhan selalu dibalas dengan pembunuhan. Kelahiran anak perempuan dianggap aib yang merendahkan martabat sang ayah, karena pada saat itu, wanita tidak dihormati karena tidak bisa berperang sehingga seringkali sang ayah tega membunuh bayinya jika yang lahir adalah perempuan (seperti kasus Umar sebelum masuk Islam). Mencuri, berjudi, mabuk-mabukan dan berzina menjadi sesuatu yang umum. Kepemilikan jumlah budak menjadi kriteria kehormatan. Seorang laki-laki boleh mengawini istri saudaranya jika saudaranya meninggal. Keadaan yang akut seperti ini memaksa beberapa orang yang konsisten dan tidak setuju dengan sistem sosial seperti ini untuk sering berkontemplasi. Tercatat orang-orang yang terpandang seperti Abdul Muthalib dan Abu Thalib adalah yang sering bertafakkur mencari jalan untuk merubah keadaan kaumnya, disamping juga nabi Muhammad saw yang saat itu berumur 40 tahun. Namun dari beberapa orang tersebut, pilihan Allah jatuh pada diri Nabi.
Dengan wahyu pertama yang sangat revolusioner nabi diserahi tugas dan tanggung jawab yang paling berat yang pernah diemban manusia. "Iqra'", bacalah. Baca apa? apa yang harus dibaca nabi? di goa Hira' tidak ada tulisan apapun yang bisa dibaca, bahkan wahyu itu sendiri berbentuk lambang bunyi yang dibisikkan Jibril. Jadi, apa makna perintah: Bacalah! itu? Yang perlu dibaca adalah keadaan masyarakat, lalu ubahlah keadaan itu menjadi lebih baik. Mengenai hal ini akan kita bahas lebih dalam nanti dalam momen yang lebih tepat semisal Nuzulul Qur'an.
Dengan dimulainya perintah itu, nabi berusaha sekuat tenaga untuk merubah tatanan maasyarakat yang salah kaprah dalam sekitar 23 tahun masa kenabiannya berhasil membentuk suatu prototipe kebudayaan dan pemerintahan yang sempurna, masyarakat madani, sivil society.
Saat ini kita di sini. Hidup di masa yang jauh setelah berlalunya periode sejarah emas itu. Lalu apa yang kita lakukan dengan peringatan maulid nabi? Mungkin benar bahwa konteks sosial masyarakat saat ini berbeda dengan zaman nabi dulu, tetapi keadaannya tidak mempunyai perbedaan yang signifikan. Kriminal merajalela, perbudakan gaya baru sudah dan sedang terjadi, degradasi moral menjadikan masyarakat flash-back pada budaya tribal, pentidak-murnian ajaran Islam terjadi dengan neo-polytheisme , pendek kata, situasi dunia post-modern mempunyai kesamaan dengan zaman nabi dulu.
Apa artinya ini? Artinya dengan memperingati maulid nabi, kita menteladai pribadi nabi, mentransformasikan pesan-pesan profetik yang dibawanya dan mengaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kita harus "membayangkan" bahwa kini kita "diberi wahyu" dan mengemban tanggung jawab yang dulu dibawa nabi. Mari kita merubah tatanan dunia menuju maasyarakat madani seperti yang berhasil dilakukan nabi 1500 tahun yang lalu. MARI!!!

MARAKNYA FILM HOROR, ada apa dibalik itu?
Suatu Tinjauan Psikologi Sosial
Ada fenomena menarik akhir-akhir ini yang berkaitan dengan dunia perfilman, baik itu lokal, nasional, maupun internasional. Fenomena itu adalah marak dan populernya film-film bergenre horor. Dikatakan marak karena banyaknya produksi dan publikasi film-film tersebut dan dikatakan populer karena ternyata, film-film horor laris, banyak ditonton dan mendapatkan rating tinggi. Produksi nasional sebut saja misalnya Jaelangkung, Disini ada setan, Kuntilanak, Bangsal 13, Bangku Kosong dan Hantu Jeruk Purut. Sedangkan yang dari luar negeri ada The Ring, Ghost Ship, dll. Film-film tersebut sangat laris bak kacang goreng, bahkan Jaelangkung sempat booming sampai-sampai tiketnya terjual ........ lembar dan membuat bioskop-bioskop penuh dalam beberapa hari sejak launching-nya. Yang membuat fenomena ini semakin menarik untuk dicermati adalah bahwa sebagian besar penontonnya adalah remaja, fase perkembangan psikologis manusia yang--notabenenya--dikenal lebih suka pada hal-hal yang berbau romantis, ceria dan penuh canda. Tetapi malah mereka ini yang menjadi pasar film horor, yang pastinya menegangkan serta menakutkan.

Dilihat sepintas, kemunculan film-film seperti ini seakan hanya menandakan kebangkitan produksi film lokal. Tetapi, kita tidak dapat melepas diri dari kenyataan bahwa kecenderungan publik dan mekanisme pasar sangat ditentukan dan menggambarkan situasi dan kondisi masyarakat sebagai pasar itu sendiri. Jika masyarakat menyukai film horor (dibuktikan dengan larisnya film horor) itu artinya ada sesuatu yang membuat masyarakat memilih menonton film tersebut. Kalau memang alasannya adalah kebangkitan film lokal, mengapa harus film horor yang muncul, kenapa bukan film ber-genre komedi, atau dokumenter, atau roman?

Secara personal, kesukaan seseorang terhadap sesuatu dipengaruhi alasan-alasan logis (yang sering tidak disadari) orang tersebut untuk menyukainya. Misalnya saja orang yang sedih lebih suka mendengarkan musik “kalem” dan orang yang sedang marah lebih memilih musik “keras”. Namun dalam lingkup luas, masyarakat sebagai sebuah sistem sosial juga menggambarkan hal yang serupa. Psikologi sosial menyatakan bahwa realitas apa yang terjadi dan menjadi tren di masyarakat menunjukkan kondisi obyektif kejiwaan masyarakat tersebut.

Menggunakan asumsi diatas, kemunculan film-film horor dapat kita potret dari kacamata psikologi sosial. Kesukaan masyarakat pada film horor melukiskan kejiwaan masyarakat yang juga “sama” dengan film horor: tegang, tidak menentu, penuh dengan ketidak-pastian dan kemustahilan, maraknya kejadian yang tidak rasional, dsb.

Coba kita perhatikan perkembangan realitas sosial, baik itu melalui media massa (cetak maupun elektronik) maupun pengamatan pribadi. Bencana di mana-mana, tidak ada kepastian dan jaminan hukum, banyak kejadian aneh (bayi kepala dua, kelapa bercabang, sapi berkaki enam, dsb) dan perkembangan kehidupan yang semakin menegangkan (pemanasan global, polusi, krisis energi, dsb). Realitas seperti ini yang membuat masyarakat menyukai tontonan horor, meski ini tidak disadarinya.

Kondisi kejiwaan masyarakat (sebagai wujud integrasi individual) inilah bentuk “Ketidaksadaran” sebagai alasan “tersembunyi” (baca teori psikoanalisa Freud atau psikologi analitik Jung) yang justru paling menentukan pilihan apa yang dibuat seseorang secara tidak sadar.

Sehingga saya berani berkata, selama kondisi sosial masyarakat (artinya banyak faktor yang terkait di dalamnya) masih seperti saat ini, maka film-film ber-genre horor akan terus diminati. Jika terus diminati, maka rumah produksi akan terus mengeluarkan film ber-genre horor baru sebagai implikasi penganut teori ekonomi “permintaan pasar”. Apa artinya ini? Berarti film-film yang potensial sebagai ajang da’wah dan membawa pesan moral tidak akan laku di pasaran.

“ILMU PENGETAHUAN; ANUGERAH ATAUKAH BENCANA?”
Ambivalensi konsekuensi ilmu pengetahuan dalam realita
Seorang guru pernah bertanya, kepada saya dalam sebuah kesempatan diskusi kecil-kecilan. Beliau bertanya: “Apakah ilmu pengetahuan adalah benar-benar sebagai suatu anugerah? Ataukah malah dia adalah bencana bagi umat manusia?”. Melihat realitanya, seolah-olah memang ilmu pengetahuan adalah bencana, tetapi apakah memang demikian adanya?

Kita tahu bahwa dalam dunia yang seperti ini dimana globalisasi (dalam artian yang luas, bukan sekedar globalisasi komunikasi tetapi juga Ipoleksosbudhankam) masuk dengan sangat bebas dalam setiap sendi kehidupan manusia, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah hal yang signifikan bagi progresifitas kehidupan, terutama sejak masa pencerahan (enlightment) di Eropa. Tidak ada hal yang tidak dimasuki oleh ilmu pengetahuan, bahkan termasuk filsafat (yang sering dikatakan sebagai pasukan artileri terhadap ilmu pengetahuan). Agresi ilmu pengetahuan dalam bidang yang disebut terakhir sampai-sampai memunculkan wacana kematian filsafat dalam studi Post-modernisme.

Ilmu pengetahuan, pada implementasinya dalam kehidupan, otomatis akan menghasilkan teknologi. Ini tidak bisa dipisahkan, sehingga orang sering menggabungkan kedua kata ini menjadi Ilmu pengetahuan dan Teknologi (IpTek). Kalau ilmu pengetahuan bersifat teoritis dan tidak berbentuk, maka teknologi adalah praktis dan berbentuk. Diantara ilmu pengetahuan dan teknologi, sebenarnya terdapat sebuah etika atau norma mendasar serta prinsip utama yang harus ditaati.

Idealnya, ilmu pengetahuan bersifat tidak pasti. Dalam artian selalu berkembang dan fleksibel ke arah positif, dinamis dan terdapat keterkaitan yang serius dengan nilai etika dan moral. Ilmu pengetahuan seharusnya berkembang positif dibarengi dengan sikap ilmiah yang benar. Sedangkan teknologi seharusnya mapan. Dalam artian tidak digunakan untuk tujuan negatif dan egoistis. Teknologi diperuntukkan bagi kesejahteraan umat manusia.

Namun dalam kenyataannya (Das Sein), malah terbalik. Ilmu pengetahuan menjadi mapan, tidak ada pengembangan yang berarti, tidak integral dengan nilai moral dan etika dan tidak dibarengi dengan sikap ilmiah yang benar. Ekses otomatisnya, teknologi atau mesin menjadi tidak pasti. Mesin digunakan tanpa melihat akibat jangka panjangnya, demi kepentingan sesaat, keuntungan semu dan bukan untuk kesejahteraan umat manusia dalam jangka panjang. Antoni Giddens dalam The Third Ways mengistilahkan dengan High-Consequence Risk sebagai resultan dari Ontological Security dan Manufactured Uncertainty ini. Dia menganalogikannya sebagai Juggernaut (Truk besar) yang membawa muatan berat dan berjalan turun kebawah tanpa terkontrol (yang artinya terlalu riskan terkena musibah).

* The Real High-Consequency Risk
Memang, kalau kita bicara hidup, tidak akan pernah terlepas dengan apa yang dinamakan resiko, itu adalah keniscayaan. Tetapi konsekuensi akibat kemapanan ontologi dan ketidakpastian teknologi adalah terlalu besar. Jika saja di dunia ini ada pemimpin sebuah negara yang lalim tetapi menguasai teknologi nuklir yang hebat, dengan sekali sentuh tombol, dunia akan lenyap. Itu adalah contoh tingginya resiko dalam medio yang singkat, tetapi sesungguhnya High-Consequency Risk dalam durasi lambat—tetapi pasti—sudah berjalan. Gambaran umumnya adalah sebagai berikut :

Manufactured Uncertainty ® Produk yang tak terkendali
Ontological Security ® Sikap pragmatis, Economical oriented An-Sich, egois, Dll.

Hal ini akan menimbulkan banyak masalah dalam kehidupan manusia. Kerusakan alam (berarti di dalamnya juga termasuk kerusakan nature & nurture. Natural dan sosial) telah terjadi akibat implementasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang salah. Ini menyebabkan fenomena yang disebut sebagai Uncontrolled Globalication and technologies, yakni diantaranya :

1. Kerusakan lapisan Ozon (O3) akibat efek rumah kaca dan pemakaian Freon serta polusi. Dalam jangka waktu yang lama bisa menimbulkan penyakit akibat radiasi matahari, seperti kanker kulit.
2. Pasar bebas. Adanya pasar bebas sebenarnya sangat riskan menimbulkan kegoncangan ekonomi suatu negara. “Uncoverage financial of state ‘Cause of Suddenly attack”, siapapun tahu bahwa sekuat apapun cadangan devisa suatu negara, tidak akan bisa bertahan jika terkena serangan finansial yang tiba-tiba. Ini disebabkan para spekulan mata uang di perdagangan bebas.
3. Bom atom, Nuklir dan persenjataan berat lainnya termasuk senjata biologi. Kita tentunya tahu dengan akibat dari bom Atom di Hirosima dan Nagasaki yang tidak hilang efek radiasinya dalam 7 generasi.
4. Global Warming and Global Dimming. Pemanasan dan pendinginan Global yang membuat ketidakpastian cuaca dan suhu, sangat berpengaruh pada pertanian dan produksi alam. Dan banyak fenomena lain yang terjadi.

Memperhatikan itu semua, akan muncul dalam pikiran kita (ini jika kita masih punya kepedulian, tidak apriori dan skeptis), sebenarnya kehidupan ini sedang menapaki kurva naik (semakin positif) ataukah kurva turun (semakin negatif) ?
Jika kita termasuk penganut paham bahwa pencerahan (enlightment) dan revolusi industri adalah perkembangan positif, maka kita akan beranggapan bahwa kehidupan manusia sedang berjalan kearah yang lebih baik. Tetapi jika kita adalah kaum skeptis dan nihilis, maka kita akan mengatakan bahwa sekarang manusia dalam keadaan : “BAHAYA!!!”. Atau jika anda adalah seorang yang revolusioner, maka anda akan berusaha berbuat untuk memperbaikinya kembali. Terserah apa idealisme anda.

* Ilmu pengetahuan, ikut bertanggung jawabkah?
Lalu apakah ilmu pengetahuan ikut bertanggung jawab dengan semua ketidakpastian dan kerusakan ini? tunggu dulu. Tolak ukur dan sudut pandangn mana yang anda gunakan untuk itu, jangan secara sporadis meng-iya-kan atau men-tidak-kan.
Sebenarnya, sebagai sebuah entitas, ilmu pengetahuan adalah independen dan suci—berarti termasuk teknologi—yang tidak ada kaitannya dengan semua ini. ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah baik. Entah itu perkembangan yang ditimbulkannya positif atau negatif, dia tetap suci.

Tetapi di sisi lain, sebagai sebuah instrumen –dalam artian ilmu pengetahuan adalah alat dan proses, instrumental—keberadaannya adalah koheren, tergantung dan diarahkan. Siapa yang mengarahkan? Tentu saja subyek ilmu pengetahuan, dalam hal ini manusia.
Jadi siapa yang salah? Jawabnya kita semua!!

“Lho saya kan bukan orang jahat?”, mungkin begitu komplain bagi mereka yang tidak ingin disalahkan. Tetapi tetap saja kita semua salah. Kesalahan orang yang berbuat salah adalah tidak melakukan hal yang benar, dan kesalahan kita—yang mengaku tidak salah—adalah membiarkan orang lain berbuat salah. Anda tentu tahu dengan analogi “kapal besar” bukan, dimana jika kita membiarkan seseorang melobangi kapal, berarti kita juga bersalah (artinya bunuh diri) karena membiarkannya terjadi.

Kalau sudah begini, ayat Ta’muruuna Bil Ma’rufi wa Tanhauna ‘Anil Munkari seolah hanya jargon dan slogan kosong umat Islam, bagaimana pendapat anda, saya tunggu!

MENULIS ITU GAK SUSAH KOK!
Tips untuk kamu yang pengen menulis.

Mungkin banyak diantara kita yang merasa segan dan malas jika mendapat tugas menulis. Biasanya alasan yang dominan mengapa kita tidak mau melakukannya adalah merasa tidak bisa, atau sulit memilih kata. Hal ini kemudian menghasilkan asumsi yang banyak berkembang di masyarakat bahwa menulis itu mutlak membutuhkan bakat, seseorang yang berbakat menulis akan bisa menulis dan sebaliknya, jika seseorang tidak berbakat, maka dia tidak akan bisa menulis. Asumsi ini jelas-jelas salah. Menulis pada dasarnya bisa dilakukan semua orang, baik dia berbakat atau pun tidak. Masalahnya adalah bagaimana kemudian kita menghasilkan tulisan yang bagus, baik dari segi pemilihan kata, struktur, gaya maupun plastisitas.
Tulisan yang baik dihasilkan dari penulis yang baik dan penulis yang baik ditempa oleh pengalaman!!. Mungkin ini adalah dasar yang mesti kita pegang jika ingin menghasilkan tulisan yang baik. Hukum alam masih berlaku dalam tulis-menulis, semakin sering maka semakin berpengalaman, semakin berpengalaman maka semakin bisa.

Kesulitan awal

Ada perbedaan antara "penulis pemula" dan "memulai menulis". "penulis pemula" adalah orang yang baru belajar bagaimana cara menulis yang baik sedangkan "memulai menulis" adalah usaha awal yang dilakukan seorang penulis, tidak perduli dia amatir ataukah profesional.
Namun dari keduanya ada korelasi yang erat. Seorang penulis pemula biasanya menghadapi kesulitan awal jika dia ingin menulis, yakni bagaimana, dari mana atau dengan apa dia harus memulai tulisannya. Seseorang yang terbiasa menulis, akan mudah menentukan bagaimana, dari mana dan dengan apa dia memulai menulis. Seorang penulis akan merasa enjoy dan "flow" jika dia berhasil mendobrak kesulitan awal ini. Jadi intinya adalah : Biasakan menulis, agar mengetahui bagaimana memulai menulis!!

Apa yang dibutuhkan untuk dapat menulis?

Sama dengan masalah yang lain, menulis juga butuh modal. Ada beberapa hal yang harus kita penuhi agar kita "bisa" menulis, diantaranya:
1. IDEALISME. Seorang penulis harus punya idealisme, sehingga ketika mengetahui sebuah persoalan dia bisa menyikapinya, entah berbentuk negasi, persetujuan, atau netral. Idealisme itu bisa berwujud macam-macam ideologi.
2. MEMBACA. Kalau kamu tidak pernah "membaca", maka kamu tidak akan pernah bisa menulis. Analoginya seperti rekaman musik, jika tidak ada yang direkam, maka tidak akan ada yang bisa didengarkan.
3. KEPEDULIAN. Apa jadinya jika kamu tidak perduli dengan suatu hal?, kamu tidak akan tertarik untuk mengamati, menyikapi dan mengekspresikannya.

Kapan kita menulis?
Waktu yang paling baik untuk menulis adalah: SAAT KAMU SEDANG MOOD. Dalam kondisi tersebut energi yang kamu miliki sedang dalam puncaknya, Idealisme kamu sedang tinggi, Emosi kamu sedang "In", sehingga transfer "perasaan" dan kekuatan tulisan bisa maksimal. Percaya atau tidak, tulisan yang dihasilkan sesorang dengan semangat, emosional dengan yang "datar-datar saja", sangat terasa bedanya, terutama bagi pembaca yang sudah berpengalaman. Analoginya seperti "membuat sambal", meskipun kadar cabenya sama dan dengan alat yang sama, lain tangan maka lain rasa dan pedasnya. Betul?
Dan jika kamu sedang mood, usahakan JANGAN MENUNDA MENULIS!!. Kalau ditunda, perasaanmu sudah tidak sama lagi dengan sebelumnya.

Kesalahan umum "penulis pemula"
Seseoran yang jarang menulis atau yang ingin belajar menulis biasanya dihinggapi suatu penyakit dan kesalahan umum: TAKUT TULISANNYA DICAP JELEK!!!. Ingat, semakin sering kamu menulis maka semakin baik tulisan yang kamu hasilkan. Gaya bahasa, plastisitas, pemilihan kata dan lain sebagainya akan terbentuk dengan sendirinya secara alami jika kamu sering menulis dan MEMPERHATIKAN TULISAN ORANG LAIN. Dengan begitu maka kamu semakin banyak belajar, dan satu hal lagi JANGAN MEMAKSAKAN DIRI MENGIKUTI GAYA TULISAN ORANG LAIN. Gaya tulisan bisa berbeda dan tidak harus sama.

Memulai menulis
Bagaimana, sudah mulai tertarik untuk mendalami dunia tulis-menulis? LAKUKAN DARI SEKARANG!!
Kamu bisa mulai dengan menulis tanggapan terhadap tulisan ini.
Atau di lain kesempatan kamu bisa belajar dengan menulis hal-hal yang sederhana, misalnya tentang diri kamu, binatang piaraanmu, apa kejadian yang menurut kamu menarik di sekolah pagi ini, atau pendapatmu tentang perkembangan peristiwa populer. Selamat mencoba.

MENULIS ITU GAK SUSAH KOK!
Tips untuk kamu yang pengen menulis.

Mungkin banyak diantara kita yang merasa segan dan malas jika mendapat tugas menulis. Biasanya alasan yang dominan mengapa kita tidak mau melakukannya adalah merasa tidak bisa, atau sulit memilih kata. Hal ini kemudian menghasilkan asumsi yang banyak berkembang di masyarakat bahwa menulis itu mutlak membutuhkan bakat, seseorang yang berbakat menulis akan bisa menulis dan sebaliknya, jika seseorang tidak berbakat, maka dia tidak akan bisa menulis. Asumsi ini jelas-jelas salah. Menulis pada dasarnya bisa dilakukan semua orang, baik dia berbakat atau pun tidak. Masalahnya adalah bagaimana kemudian kita menghasilkan tulisan yang bagus, baik dari segi pemilihan kata, struktur, gaya maupun plastisitas.
Tulisan yang baik dihasilkan dari penulis yang baik dan penulis yang baik ditempa oleh pengalaman!!. Mungkin ini adalah dasar yang mesti kita pegang jika ingin menghasilkan tulisan yang baik. Hukum alam masih berlaku dalam tulis-menulis, semakin sering maka semakin berpengalaman, semakin berpengalaman maka semakin bisa.

Kesulitan awal

Ada perbedaan antara "penulis pemula" dan "memulai menulis". "penulis pemula" adalah orang yang baru belajar bagaimana cara menulis yang baik sedangkan "memulai menulis" adalah usaha awal yang dilakukan seorang penulis, tidak perduli dia amatir ataukah profesional.
Namun dari keduanya ada korelasi yang erat. Seorang penulis pemula biasanya menghadapi kesulitan awal jika dia ingin menulis, yakni bagaimana, dari mana atau dengan apa dia harus memulai tulisannya. Seseorang yang terbiasa menulis, akan mudah menentukan bagaimana, dari mana dan dengan apa dia memulai menulis. Seorang penulis akan merasa enjoy dan "flow" jika dia berhasil mendobrak kesulitan awal ini. Jadi intinya adalah : Biasakan menulis, agar mengetahui bagaimana memulai menulis!!

Apa yang dibutuhkan untuk dapat menulis?

Sama dengan masalah yang lain, menulis juga butuh modal. Ada beberapa hal yang harus kita penuhi agar kita "bisa" menulis, diantaranya:
1. IDEALISME. Seorang penulis harus punya idealisme, sehingga ketika mengetahui sebuah persoalan dia bisa menyikapinya, entah berbentuk negasi, persetujuan, atau netral. Idealisme itu bisa berwujud macam-macam ideologi.
2. MEMBACA. Kalau kamu tidak pernah "membaca", maka kamu tidak akan pernah bisa menulis. Analoginya seperti rekaman musik, jika tidak ada yang direkam, maka tidak akan ada yang bisa didengarkan.
3. KEPEDULIAN. Apa jadinya jika kamu tidak perduli dengan suatu hal?, kamu tidak akan tertarik untuk mengamati, menyikapi dan mengekspresikannya.

Kapan kita menulis?
Waktu yang paling baik untuk menulis adalah: SAAT KAMU SEDANG MOOD. Dalam kondisi tersebut energi yang kamu miliki sedang dalam puncaknya, Idealisme kamu sedang tinggi, Emosi kamu sedang "In", sehingga transfer "perasaan" dan kekuatan tulisan bisa maksimal. Percaya atau tidak, tulisan yang dihasilkan sesorang dengan semangat, emosional dengan yang "datar-datar saja", sangat terasa bedanya, terutama bagi pembaca yang sudah berpengalaman. Analoginya seperti "membuat sambal", meskipun kadar cabenya sama dan dengan alat yang sama, lain tangan maka lain rasa dan pedasnya. Betul?
Dan jika kamu sedang mood, usahakan JANGAN MENUNDA MENULIS!!. Kalau ditunda, perasaanmu sudah tidak sama lagi dengan sebelumnya.

Kesalahan umum "penulis pemula"
Seseoran yang jarang menulis atau yang ingin belajar menulis biasanya dihinggapi suatu penyakit dan kesalahan umum: TAKUT TULISANNYA DICAP JELEK!!!. Ingat, semakin sering kamu menulis maka semakin baik tulisan yang kamu hasilkan. Gaya bahasa, plastisitas, pemilihan kata dan lain sebagainya akan terbentuk dengan sendirinya secara alami jika kamu sering menulis dan MEMPERHATIKAN TULISAN ORANG LAIN. Dengan begitu maka kamu semakin banyak belajar, dan satu hal lagi JANGAN MEMAKSAKAN DIRI MENGIKUTI GAYA TULISAN ORANG LAIN. Gaya tulisan bisa berbeda dan tidak harus sama.

Memulai menulis
Bagaimana, sudah mulai tertarik untuk mendalami dunia tulis-menulis? LAKUKAN DARI SEKARANG!!
Kamu bisa mulai dengan menulis tanggapan terhadap tulisan ini.
Atau di lain kesempatan kamu bisa belajar dengan menulis hal-hal yang sederhana, misalnya tentang diri kamu, binatang piaraanmu, apa kejadian yang menurut kamu menarik di sekolah pagi ini, atau pendapatmu tentang perkembangan peristiwa populer. Selamat mencoba.

KEANGKUHAN INTELEKTUAL

Sahabat Ali r.a. pernah berkata : ”Undzur Maa Qala, Wa Lan Tandzur Man Qala”, yang artinya kurang lebih: Lihatlah apa yang dikatakan, tetapi jangan melihat siapa yang mengatakan. Adagium ini menunjukkan kearifan dan kerendahan hati, sesuai dengan pepetah: Bagai Padi, makin tua makin merunduk. Namun dalam kenyataannya, mengimplementasikan adagium ini dalam kehidupan sehari-hari sangatlah sulit dan tidak semua orang bisa melakukannya, bahkan orang yang mempunyai tingkat intelektualitas tinggi pun belum tentu bisa melakukannya. Faktor psikologis seperti: malu, gengsi, merasa direndahkan dan sebagainya menjadi momok tersendiri.

Seorang dosen pernah kelimpungan ketika penjelasan yang dia berikan pada mahasiswa dalam sebuah perkuliahan bertentangan dengan apa yang pernah dikatakan sebelumnya, masalahnya dia tidak mau mengakui hal itu dan mencari-cari jawaban apologetik, terasa naif dan lucu. Sehingga setelah sang dosen keluar ruangan, seisi kelas tertawa sinis sambil mengatakan: besok kita bawa recorder jika dosen ini mengajar. Mungkin sang dosen merasa sungkan jika harus mengakui kesalahannya, merasa direndahkan mahasiswa, tidak mau dipikir lebih pintar sang mahasiswa.

Fenomena seperti ini sangat sering terjadi disekitar kita, bahkan kita sendiri pun—kemungkinan besar—pernah melakukannya. Ini wajar, sejauh apa yang kita lakukan masih berada pada taraf normal. Tetapi ketika karena merasa malu, gengsi dan sebagainya itu kita sampai berbohong, berapologetik dan memutar-mutar kata, maka sesungguhnya kita terkena sindrome yang dinamakan keangkuhan Intelektual. Merasa lebih pandai, gelar akademik berderet panjang dibelakang nama yang singkat, lebih tua dan status-status sosial yang tinggi sehingga ketika ada orang lain yang dirasa kelasnya masih dibawahnya, maka dia tidak mau menerima apa yang disampaikan.

Contoh dari “Keangkuhan Intelektual” yang sering terjadi adalah ketika ada pembelajaran “khutbah” siswa, maka dapat dipastikan guru-guru yang hadir atau kelas yang lebih tinggi akan sibuk dengan urusannya masing-masing, duduk menepi dan tidak memperhatikan pembicara. Asumsi sepintas yang muncul adalah “aku sudah tahu apa yang kamu sampaikan”. Contoh lain adalah merasa apa yang sudah diketahuinya, diyakini sebagai kebenaran mutlak, tidak mungkin salah. Sehingga jika ada pendapat lain dalam sebuah diskusi atau debat, maka dia serta merta menolaknya tanpa dikaji dan ditimbang lebih jauh.

Apapun persoalannya, jika asumsi dasar sudah begini maka akan sulit merubah dan menerima keyakinan orang lain. Salah satu prinsip ilmu adalah selalu berkembang, apa yang benar menurut ilmu saat ini belum tentu benar menurut ilmu yang akan datang jika ditemukan penjelasan yang lebih memadai, ini terkait dengan prinsip spekulatif ilmu. Salah satu contohnya adalah perhitungan kecepatan partikel. Jika dulu sebelum ditemukan teori relativitas Einstein, maka yang digunakan adalah rumus kecepatan milik Newton, tetapi ternyata kemudian rumus itu diketahui tidak sesuai untuk pertikel yang bergerak dengan kecepatan tinggi.
Melihat kenyataan ini maka sepatutnya kita merasa bahwa apa yang kita ketahui sebenarnya hanyalah setitik nila yang terombang-ambing dalam luasnya samudra pengetahuan. Disamping itu pula dengan prinsip asal ilmu dimulai dari keragu-raguan, seperti kata Rene Descartes, De omnibus dubitandum!, segala sesuatu harus diragukan (dalam perspektif keilmuan, tentunya) maka itu juga termasuk kita meragukan kembali apa yang kita yakini sebelumnya.


Dengan keraguan itu akan muncul dua kemungkinan, kita menggantinya dengan sesuatu yang baru karena lebih benar, atau semakin yakin dengan apa yang dipegang sebelumnya. Namun tetap harus disadari ini hanya bisa dilakukan dalam koridor ”wilayah keilmuan”, diluar itu tidak bisa. Katakanlah agama, agama mempunyai prinsip lain dengan ilmu. Kalau ilmu dimulai dengan keragu-raguan kama agama dimulai dengan keyakinan. Hal ini terkait dengan obyek masing-masing. Kalau ilmu memperhatikan wilayah ”empirik dan impersonal” maka agama adalah ”metafisik dan personal”.Tetapi tetap, dalam wilayah keilmuan, kita harus menghindari apa yang dinamakan keangkuhan intelektual.


MENCONTEK : UDAH PENGECUT, GAK KEREN LAGI!!

“Orang Utan lebih berhasil mendidik Tarzan menjadi manusia berbudi,Tapi pendidikan modern justru gagal membentuk manusia yang sesungguhnya”
(Prof. Dr. Djohar)

Ujian itu di mana pun akan selalu ada. Karena hanya dengan ujian orang bisa melakukan refleksi dan melihat sejauh mana dia telah berhasil melangkah, itu idealnya. Tetapi ketika hal ini masuk kedalam kehidupan riil dan berbenturan dengan pragmatisme ditambah paradigma masyarakat yang kurang tepat mengenai kegagalan, maka orang bisa melakukan apapun agar bisa lolos dari ujian tersebut.

Tidak terkecuali dalam dunia pendidikan. Ujian juga ada. Bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari Ulangan Harian, Ulangan Semester sampai –yang menjadi kontroversi—Ujian Akhir Nasional. Apapun bentuknya, ujian tetap penting untuk dilaksanakan, yang menjadi masalah adalah mengenai mekanisme dan regulasi yang digunakan di dalamnya. Dengan ujian, kita mengukur sejauh mana kemampuan kita dalam menyerap pelajaran yang diberikan. Sebagai hasil dari ujian, ada yang dinamakan keberhasilan dan ada juga kegagalan. Ini alami dan sunatullah, dalam semua bidang kehidupan harus ada keseimbangan, itulah cosmos, kalau tidak ada keseimbangan maka akan terjadi chaos, ketidak-teraturan.

Sehingga pengertiannya, kegagalan itu biasa dan tidak sejelek yang dibayangkan masyarakat. Tetapi karena paradigma sudah terbentuk, maka sulit untuk merubahnya. Dan ketika kemudian paradigma seperti ini bertemu dengan prinsip pragmatis maka subyek pendidikan—dalam hal ini bisa siswa, guru, lembaga pendidikan, bahkan pemerintah—menjadi menghalalkan segala cara untuk ”meloloskan” diri dari makhluk Allah yang bernama kegagalan itu. Ada pertarungan kepentingan di sini, dan karena semua terkait maka terbentuk lingkaran setan kepentingan. Siswa merasa dia harus lulus ujian karena kalau gagal mereka malu dengan lingkungannya, orang tua merasa rugi, guru merasa gagal mengajar, sekolah takut tidak dapat murid, dan pemerintah dinilai tidak becus mengurus pendidikan, seterusnya begitu sehingga terjadi komplotasi kejahatan intelektual, manipulasi proses dan manipulasi hasil. Lingkaran ini begitu kuat dan membentuk karakter out-put pendidikan kita yang—seperti pernyataan Prof. Dr. Djohar diatas—lebih rendah dari didikan Orang Utan.

Bajingan Intelektual yang pengecut
Sekarang masalahnya kita sebagai siswa, bagaimana sikap kita terhadap realitas seperti ini? Salah satu kejahatan intelektual yang sering dilakukan siswa adalah bagaimana agar mendapatkan nilai yang bagus meskipun pada kenyataannya kita tidak mampu melakukannya dengan cara yang benar, yakni mencontek. Tidak perlu belajar, tidak perlu menghapal, tidak perlu mamahami, cukup dengan menulis bahan ulangan di belakang seragam, atau menyembunyikan buku pelajaran di kolong bangku, mencorat-coret meja, sampai memanfaatkan teknologi, mencontek era kontemporer, menggunakan sms. Enak dan santai, pulang dapat nilai baguusssssss. Payahnya, ketika hasil dibagikan dan tertera nilai ”A plus” pada keras ulangannya, sang penjahat tersenyum penuh kemenangan.

Mencontek adalah benih dari korupsi karena kedua-duanya mengambil sesuatu yang bukan haknya. Menurut Amien Rais, ada tiga jenis korupsi: ekstraktif, manupulatif dan nepotistik. Korupsi ekstraktif adalah memberi-menerima sesuatu sebagai ”upeti” agar maksud kedua belah pihak tercapai, misalnya suap. Korupsi manipulatif adalah menipu dengan membuat laporan palsu, sedangkan korupsi nepotistik adalah dengan dasar hubungan kekerabatan atau pertemanan. Meninjau pengertian ini, mencontek mengandung semua jenis korupsi. Ekstraktif karena memberi-menerima yang bukan haknya, manipulatif karena membuat laporan jawaban palsu dan nepotistik karena si pemberi contekan menyandarkan perbuatannya karena ”menolong” teman.

Menurut Prof. Dr. H.R. Tilaar (1997), pendidikan kita masih banyak berciri orde baru, yang membuat orang masuk dalam perangkap setan, anak kehilangan kejujuran, tipisnya rasa kemanusiaan, kurangnya jiwa makarnya, hilangnya pribadi mandiri dan rendahnya disiplin diri. Salah satu implikasinya termasuk dalam kebiasaan mencontek siswa.Siswa yang mencontek adalah siswa yang pengecut, karena dia tidak berani menghadapi kenyataan dan mengatasi rintangan dengan kemampuannya sendiri. Siswa yang mencontek akan menjadi orang yang tidak berani menghadapi kenyataan ketika dia dihadapkan pada problem hidup yang sesungguhnya nanti ketika sudah dewasa. Siswa yang terbiasa mencontek potensial menjadi agen-agen koruptor di masa yang akan datang.

Contek-mencontek bukan tolong-menolong
Jika memang kamu seorang teman sejati, kamu tidak akan mau memberi contekan kepada temanmu!, itu yang harus kamu ingat. Mengapa? Karena dengan memberi contekan, kamu telah mengerdilkan teman kamu, membuat jiwanya tidak sehat dan secara perlahan mematika kreativitas dan kapabilitasnya. Jika memang berniat menolong, maka sebelum ujian atau ulangan kamu bisa belajar bersama, memberikan tips dan trik menjawab soal dan membantu temanmu memahami soal. Kamu kan sudah tahu sebuah hadits yang mengatakan bahwa dalam Riswah, suap-menyuap/korupsi/contek-mencontek, orang yang memberi dan orang yang menerima akan sama-sama masuk neraka.

Dalam dunia ini, mereka juga akan masuk neraka kehidupan. Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam kejahatan dan permusuhan. Guru sebagai pendidik, sekolah sebagai lembaga pendidikan dan pemerintah sebagai regulator harus benar-benar memahami pentingnya orientasi dalam proses, bukan dalam hasil. Bukankah dalam agama sendiri, amal seseorang bukan dinilai dari apa yang sudah didapatkan, tetapi bagaimana niat dan prosesnya. Ini harus diadopsi sebagai prinsip utama.
Implikasi mencontek bagi kejiwaan kamu

Alam ini mempunyai hukum kausalitas dan karma, setiap apa yang kita lakukan, sedikit atau pun banyak pasti membawa perubahan, baik bagi diri sendiri maupun lingkungan, baik positif atau pun negatif. Misalnya kamu minum maka hilang hausmu, belajar maka pintar dan sebagainya. Termasuk mencontek, juga memberikan efek-efek negatif terutama bagi perkembangan psikologis kamu. Diantara implikasi otomatis dari mencontek adalah:

Pertama, kamu menjadi seseorang yang berjiwa pengecut. Karena tidak berani mengambil keputusan sendiri. Kamu mendasarkan jawaban pada orang lain, yang sebenarnya, belum tentu lebih benar dari kamu. Kamu tidak berani menghadapi kenyataan bahwa ada sesuatu yang harus kamu pilih dengan segala konsekuensinya.

Kedua, kamu terbiasa mengambil sesuatu yang bukan hak kamu. Ini bukan masalah nilai barang yang kamu ambil (berapa sih nilai dari beberapa jawaban soal?), tapi kecenderungan jiwa kamu untuk melakukan lagi perbuatan itu dalam keadaan yang sama pada masalah yang lain yang lebih besar pada masa yang akan datang, misalnya mencuri, korupsi dsb.

Ketiga, kamu menjadi orang yang mudah putus asa. Menghadapi sesuatu yang sulit sedikit langsung melarikan diri dan mencari penyelesaian yang sebenarnya tidak pada tempatnya.

Keempat, kamu tidak mempunyai etos kerja dan etos belajar yang tinggi. Karena merasa dengan mencontek kamu sudah mendapatkan nilai yang bagus tanpa berusaha, mengapa pakai susah-susah belajar?

Kelima, kamu selalu membuat tutup hitam pada hati nurani. Seperti ditulis oleh Aristoteles dalam Etika Nikomakea, bahwa fuad (hati nurani) tidak pernah mau menerima kejahatan. Sehingga jika kamu terbiasa mencontek, maka kamu selalu memperburuk keadaan hati nuranimu.

Jadi pelajar yang KEREEN ABISS!!!
Siswa yang keren adalah siswa yang tidak pernah mencontek, tidak mau mencontek dan tidak mau memberikan contekan!, tapi dia berusaha mendapatkan nilai yang sebaik-baiknya dengan usaha dan kemampuannya sendiri. Dalam kehidupannya nanti, dia menjadi manusia tang tahan uji, idealis dan tidak pragmatis.

Mencontek itu kebiasaan lama, delete aja, tapi jangan dibuang ke Recycle Bin karena bisa di-Remove kembali, buanglah dengan cara tekan Shift+Delete, bila perlu pakai software Removal, biar kebiasaan mencontek tidak pernah ada lagi dalam kamus pendidikan dan belajar kamu.Ujian sebentar lagi, daripada mempersiapkan kertas contekan dan segudang teknik dan metode contek-mencontek yang terstruktur, bukankah lebih baik mengasah pedang (maksudnya belajar, bukan pedang benaran untuk menakuti pengawas).

Saatnya jadi siswa KEREEN!!!