KEANGKUHAN INTELEKTUAL

Sahabat Ali r.a. pernah berkata : ”Undzur Maa Qala, Wa Lan Tandzur Man Qala”, yang artinya kurang lebih: Lihatlah apa yang dikatakan, tetapi jangan melihat siapa yang mengatakan. Adagium ini menunjukkan kearifan dan kerendahan hati, sesuai dengan pepetah: Bagai Padi, makin tua makin merunduk. Namun dalam kenyataannya, mengimplementasikan adagium ini dalam kehidupan sehari-hari sangatlah sulit dan tidak semua orang bisa melakukannya, bahkan orang yang mempunyai tingkat intelektualitas tinggi pun belum tentu bisa melakukannya. Faktor psikologis seperti: malu, gengsi, merasa direndahkan dan sebagainya menjadi momok tersendiri.

Seorang dosen pernah kelimpungan ketika penjelasan yang dia berikan pada mahasiswa dalam sebuah perkuliahan bertentangan dengan apa yang pernah dikatakan sebelumnya, masalahnya dia tidak mau mengakui hal itu dan mencari-cari jawaban apologetik, terasa naif dan lucu. Sehingga setelah sang dosen keluar ruangan, seisi kelas tertawa sinis sambil mengatakan: besok kita bawa recorder jika dosen ini mengajar. Mungkin sang dosen merasa sungkan jika harus mengakui kesalahannya, merasa direndahkan mahasiswa, tidak mau dipikir lebih pintar sang mahasiswa.

Fenomena seperti ini sangat sering terjadi disekitar kita, bahkan kita sendiri pun—kemungkinan besar—pernah melakukannya. Ini wajar, sejauh apa yang kita lakukan masih berada pada taraf normal. Tetapi ketika karena merasa malu, gengsi dan sebagainya itu kita sampai berbohong, berapologetik dan memutar-mutar kata, maka sesungguhnya kita terkena sindrome yang dinamakan keangkuhan Intelektual. Merasa lebih pandai, gelar akademik berderet panjang dibelakang nama yang singkat, lebih tua dan status-status sosial yang tinggi sehingga ketika ada orang lain yang dirasa kelasnya masih dibawahnya, maka dia tidak mau menerima apa yang disampaikan.

Contoh dari “Keangkuhan Intelektual” yang sering terjadi adalah ketika ada pembelajaran “khutbah” siswa, maka dapat dipastikan guru-guru yang hadir atau kelas yang lebih tinggi akan sibuk dengan urusannya masing-masing, duduk menepi dan tidak memperhatikan pembicara. Asumsi sepintas yang muncul adalah “aku sudah tahu apa yang kamu sampaikan”. Contoh lain adalah merasa apa yang sudah diketahuinya, diyakini sebagai kebenaran mutlak, tidak mungkin salah. Sehingga jika ada pendapat lain dalam sebuah diskusi atau debat, maka dia serta merta menolaknya tanpa dikaji dan ditimbang lebih jauh.

Apapun persoalannya, jika asumsi dasar sudah begini maka akan sulit merubah dan menerima keyakinan orang lain. Salah satu prinsip ilmu adalah selalu berkembang, apa yang benar menurut ilmu saat ini belum tentu benar menurut ilmu yang akan datang jika ditemukan penjelasan yang lebih memadai, ini terkait dengan prinsip spekulatif ilmu. Salah satu contohnya adalah perhitungan kecepatan partikel. Jika dulu sebelum ditemukan teori relativitas Einstein, maka yang digunakan adalah rumus kecepatan milik Newton, tetapi ternyata kemudian rumus itu diketahui tidak sesuai untuk pertikel yang bergerak dengan kecepatan tinggi.
Melihat kenyataan ini maka sepatutnya kita merasa bahwa apa yang kita ketahui sebenarnya hanyalah setitik nila yang terombang-ambing dalam luasnya samudra pengetahuan. Disamping itu pula dengan prinsip asal ilmu dimulai dari keragu-raguan, seperti kata Rene Descartes, De omnibus dubitandum!, segala sesuatu harus diragukan (dalam perspektif keilmuan, tentunya) maka itu juga termasuk kita meragukan kembali apa yang kita yakini sebelumnya.


Dengan keraguan itu akan muncul dua kemungkinan, kita menggantinya dengan sesuatu yang baru karena lebih benar, atau semakin yakin dengan apa yang dipegang sebelumnya. Namun tetap harus disadari ini hanya bisa dilakukan dalam koridor ”wilayah keilmuan”, diluar itu tidak bisa. Katakanlah agama, agama mempunyai prinsip lain dengan ilmu. Kalau ilmu dimulai dengan keragu-raguan kama agama dimulai dengan keyakinan. Hal ini terkait dengan obyek masing-masing. Kalau ilmu memperhatikan wilayah ”empirik dan impersonal” maka agama adalah ”metafisik dan personal”.Tetapi tetap, dalam wilayah keilmuan, kita harus menghindari apa yang dinamakan keangkuhan intelektual.