MARAKNYA FILM HOROR, ada apa dibalik itu?
Suatu Tinjauan Psikologi Sosial
Ada fenomena menarik akhir-akhir ini yang berkaitan dengan dunia perfilman, baik itu lokal, nasional, maupun internasional. Fenomena itu adalah marak dan populernya film-film bergenre horor. Dikatakan marak karena banyaknya produksi dan publikasi film-film tersebut dan dikatakan populer karena ternyata, film-film horor laris, banyak ditonton dan mendapatkan rating tinggi. Produksi nasional sebut saja misalnya Jaelangkung, Disini ada setan, Kuntilanak, Bangsal 13, Bangku Kosong dan Hantu Jeruk Purut. Sedangkan yang dari luar negeri ada The Ring, Ghost Ship, dll. Film-film tersebut sangat laris bak kacang goreng, bahkan Jaelangkung sempat booming sampai-sampai tiketnya terjual ........ lembar dan membuat bioskop-bioskop penuh dalam beberapa hari sejak launching-nya. Yang membuat fenomena ini semakin menarik untuk dicermati adalah bahwa sebagian besar penontonnya adalah remaja, fase perkembangan psikologis manusia yang--notabenenya--dikenal lebih suka pada hal-hal yang berbau romantis, ceria dan penuh canda. Tetapi malah mereka ini yang menjadi pasar film horor, yang pastinya menegangkan serta menakutkan.

Dilihat sepintas, kemunculan film-film seperti ini seakan hanya menandakan kebangkitan produksi film lokal. Tetapi, kita tidak dapat melepas diri dari kenyataan bahwa kecenderungan publik dan mekanisme pasar sangat ditentukan dan menggambarkan situasi dan kondisi masyarakat sebagai pasar itu sendiri. Jika masyarakat menyukai film horor (dibuktikan dengan larisnya film horor) itu artinya ada sesuatu yang membuat masyarakat memilih menonton film tersebut. Kalau memang alasannya adalah kebangkitan film lokal, mengapa harus film horor yang muncul, kenapa bukan film ber-genre komedi, atau dokumenter, atau roman?

Secara personal, kesukaan seseorang terhadap sesuatu dipengaruhi alasan-alasan logis (yang sering tidak disadari) orang tersebut untuk menyukainya. Misalnya saja orang yang sedih lebih suka mendengarkan musik “kalem” dan orang yang sedang marah lebih memilih musik “keras”. Namun dalam lingkup luas, masyarakat sebagai sebuah sistem sosial juga menggambarkan hal yang serupa. Psikologi sosial menyatakan bahwa realitas apa yang terjadi dan menjadi tren di masyarakat menunjukkan kondisi obyektif kejiwaan masyarakat tersebut.

Menggunakan asumsi diatas, kemunculan film-film horor dapat kita potret dari kacamata psikologi sosial. Kesukaan masyarakat pada film horor melukiskan kejiwaan masyarakat yang juga “sama” dengan film horor: tegang, tidak menentu, penuh dengan ketidak-pastian dan kemustahilan, maraknya kejadian yang tidak rasional, dsb.

Coba kita perhatikan perkembangan realitas sosial, baik itu melalui media massa (cetak maupun elektronik) maupun pengamatan pribadi. Bencana di mana-mana, tidak ada kepastian dan jaminan hukum, banyak kejadian aneh (bayi kepala dua, kelapa bercabang, sapi berkaki enam, dsb) dan perkembangan kehidupan yang semakin menegangkan (pemanasan global, polusi, krisis energi, dsb). Realitas seperti ini yang membuat masyarakat menyukai tontonan horor, meski ini tidak disadarinya.

Kondisi kejiwaan masyarakat (sebagai wujud integrasi individual) inilah bentuk “Ketidaksadaran” sebagai alasan “tersembunyi” (baca teori psikoanalisa Freud atau psikologi analitik Jung) yang justru paling menentukan pilihan apa yang dibuat seseorang secara tidak sadar.

Sehingga saya berani berkata, selama kondisi sosial masyarakat (artinya banyak faktor yang terkait di dalamnya) masih seperti saat ini, maka film-film ber-genre horor akan terus diminati. Jika terus diminati, maka rumah produksi akan terus mengeluarkan film ber-genre horor baru sebagai implikasi penganut teori ekonomi “permintaan pasar”. Apa artinya ini? Berarti film-film yang potensial sebagai ajang da’wah dan membawa pesan moral tidak akan laku di pasaran.