Seharusnya Minimal S2

Pemilihan presiden adalah masalah politik. Politik adalah siapa mendapatkan apa, di mana, kapan, dan bagaimana caranya. Itu adalah landasan umum semua kegiatan perpolitikan nasional kita.

Setiap orang yang terlibat dalam politik selalu menggunakan definisi artifisial tentang politik seperti itu dalam setiap usaha mereka untuk mendapatkan kemenangan. Mengutip syair Iwan Fals, Cubit sana cubit sini, itu sudah lumrah.

Usul pemerintah agar capres minimal berijazah S-1 pun tidak terlepas dari tendensi-tendensi politik, meski mereka menggunakan argumen yang logis. Penolakan berbagai kalangan pun sarat dengan tendensi-tendensi politik, meski dengan argumen yang lebih sedikit memaksa.

Seperti kita ketahui, sejak Depdagri mengusulkan revisi paket UU Politik atas permintaan Komisi II DPR untuk draf RUU Pilpres, pro-kontra tentang usul tersebut langsung mencuat, terutama berkaitan dengan sarat batas perolehan suara untuk partai dan syarat presiden berijazah minimal S-1. SBY langsung menyatakan bahwa pihak istana tidak ikut campur dalam usul tersebut dan banyak kalangan, baik politisi maupun legislatif, yang menolak (JP, 18 Maret 2007).

Megawati sebagai salah seorang capres yang terancam terganjal usul tersebut langsung menolak. Sebab, dia belum lulus S-1. Ketua umum PPP dalam sebuah istighotsah dengan ulama NU juga menolak serta menyatakan bahwa "orang berpendidikan belum tentu bisa menjadi pemimpin dan banyak kiai yang pemikirannya melebihi profesor". Di lain pihak, Amien Rais dan Eep setuju terhadap usul tersebut (JP, 190307).

Pengalaman politik kita mengajarkan bahwa yang dilakukan politisi kita selalu dipengaruhi kepentingan pribadi dan partai. Yaitu, untuk mendulang suara dan memenangkan jagonya dalam pemilu, penuh intrik dan taktik. Sikap politisi kita dalam kontroversi tersebut juga tidak jauh dari hal itu. Pernyataan SBY bahwa pihak istana sama sekali tidak ikut campur mungkin sekadar membuat stigma bahwa dirinya tidak berniat menjegal lawan politik dengan RUU itu, meski sangat diuntungkan karena Megawati sebagai pesaing utama akan kandas.

Sementara itu, penolakan Megawati terhadap usul itu agar dirinya bisa lolos dalam pemilu, mengingat dia belum lulus S-1, dan pernyataan ketua PPP di depan publik NU tentu ditujukan meraih simpati warga NU (yang mungkin tersinggung usul pemerintah itu).

Logika Salah

Sebagian besar -kalau tidak semua- argumen penolak usul revisi UU itu menyandarkan pada alasan bahwa (1) orang yang lulus sarjana belum tentu bisa menjadi pemimpin. (2) Banyak pemimpin pada masa lalu yang berhasil, meski bukan sarjana. (3) Sebagian besar rakyat Indonesia tidak berijazah S-1, sehingga RUU tersebut sama dengan pembunuhan "demokrasi".

Logika yang digunakan tersebut sangat salah kaprah. Untuk yang pertama, orang yang sarjana belum tentu bisa menjadi pemimpin yang baik, itu memang benar. Tapi, orang yang sudah lulus sarjana sudah dididik untuk berpikir rasional, mengambil kesimpulan yang benar, dan kompetensi yang mendukung (seperti alasan Amien). Kesimpulan seharusnya, kalau sarjana saja belum tentu bisa menjadi pemimpin yang baik, apalagi yang belum sarjana.

Kedua, banyaknya pemimpin yang berhasil pada masa lalu bukan merupakan referensi yang baik bagi kita untuk merumuskan kebijakan pembangunan masa mendatang. Budaya dan konteks sosial saat ini membutuhkan pemimpin yang tidak hanya memiliki banyak uang dan massa, tapi juga berpendidikan.

Ketiga, banyaknya rakyat Indonesia yang belum sarjana tidak bisa dijadikan standar bagi capres. Presiden adalah pemimpin dan pemimpin harus lebih pandai daripada rakyatnya. Apakah kalau rakyatnya bodoh, presidennya harus ikut bodoh? Satu lagi, demokrasi bukan seperti polling yang mendasarkan diri pada suara mayoritas. Demokrasi adalah musyawarah terhadap pilihan yang terbaik, bukan terbanyak!

Jika Anda seorang pemilik perusahaan yang sedang mencari direktur dan disuruh memilih antara seorang yang sudah sarjana dan kompeten, meski tidak punya banyak uang, dengan seorang yang tidak pernah sekolah, tidak berpendidikan, dan hanya mengandalkan uang serta massa, mana yang Anda pilih?

Mengapa sekarang lowongan kerja mensyaratkan ijazah minimal? Sebab, setidaknya konsekuensinya, si pelamar mempunyai kompetensi minimal. Jika Anda mencari seorang akuntan, mana yang Anda pilih, lulusan S-1 ekonomi atau SD?

S-1 Masih Kurang

Sebenarnya, kalau kita mau jujur, presiden malah harus sudah menempuh pendidikan lebih dari S-1. S-2 mungkin atau S-1 dua kali. Banyak di antara rakyat kita yang sudah lebih dari S-1.

Pemimpin harus lebih pandai daripada rakyatnya. Kalau tidak, jika dia jadi presiden, kebijakan yang diambil adalah kebijakan orang-orang di balik layar. Dia hanya presiden boneka. Akan banyak kebijakan yang diambil menimbulkan masalah karena orang yang tidak berpendidikan hanyalah orang yang menimbulkan masalah.

Meski, kita tidak menutup mata bahwa syarat ijazah minimal bisa diakali, namanya saja politik. Andai saja usul Depdagri tersebut disetujui, besoknya para capres pasti sudah bergelar sarjana. Ijazah bisa dibeli.

Memang, syarat utama menjadi presiden di Indonesia sejak dulu belum berubah: punya banyak uang, punya banyak massa, punya banyak akal (bulus), tidak jadi soal dia pandai atau tidak, tidak jadi soal bermoral atau tidak, dan tidak jadi soal apakah sarjana atau tidak.
Jawapos, Senin 20 Maret 2007