BUDAYA NDADAK

“Seorang laki-laki pingsan di rumah sakit. Seseorang bertanya kepada suster, apa yang terjadi?, jawab suster: “Dia bermaksud membawa istrinya yang hamil, dengan tergesa-gesa, tetapi yang terbawa hanya bantalnya saja”

Humor diatas tentu sering kita baca dan dengar, apalagi bagi yang hobi surfing humor baik di situs internet maupun buku-buku yang seabrek disediakan berbagai penerbit. Lelaki dalam cerita diatas tentu tidak akan mengalami hal di atas sekiranya dia mempersiapkan segalanya dengan terencana. Menyadari kandungan istrinya mulai memasuki bulan-bulan terakhir seharusnya dia Siap-Antar-jaGA (SIAGA) dan tidak tergesa-gesa serta Ndadak.

Budaya Ndadak (jw: tiba-tiba) secara tidak disadari telah menjadi budaya kita. Iihatlah di sekeliling kita—atau bahkan diri sendiri—pada saat melakukan berbagai kegiatan, pasti ada saja yang kurang, ada yang belum dipersiapkan, sementara limit waktu tidak mentolelir keterlambatan dalam bentuk sekecil apapun. Akibatnya, ketergesa-gesaan menjadi sesuatu yang bisa dan biasa dilakukan semua orang. Kita lihat dalam setiap kegiatan, peserta datang terlambat karena berangkatnya Ndadak, fasilitas yang disediakan belum datang karena pesannya Ndadak, panitia merasa belum sepenuhnya siap karena konsep acaranya Ndadak. Sampai-sampai ada idiom yang seolah-olah menjadi milik umum: “Jam karet”. “Jam karet” hanya ada di Indonesia, ini produk asli bangsa kita, hanya saja belum berkualitas ekspor karena terbukti tidak ada negara luar yang mau membelinya.

Apa sebenarnya yang membuat budaya Ndadak ini menjadi fenomena sosial yang umum, bahkan berskala nasional? Ini dikarenakan sistem sosial-budaya yang kita konstruk memang mengandaikan hal itu. Mulanya manusia menciptakan sistem, kemudian sistem itulah yang akan menciptakan manusia. Sistem sosial-budaya ini sederhananya dapat kita katakan sebagai “kebiasaan”. Jika Ndadak adalah kebiasaan yang terus dipupuk maka ia akan tumbuh subur sebagai suatu budaya. Kebiasaan menunda pekerjaan sehingga menumpuk diakhir waktu itulah yang memunculkan budaya Ndadak. Kalau kita perhatikan, ini bertentangan dengan salah satu atsar : “Jangan tunggu besok apa yang dapat kamu lakukan hari ini”. Never till of tomorrow what can you do today.

Ada dua sistem yang kita kenal, dalam hubungannya dengan subyek, yaitu sistem personal dan sistem sosial. Sistem personal secara sederhana dapat dikatakan sebagai kebiasaan tiap orang dan sistem sosial sebagai kebiasaan masyarakat secara keseluruhan. Karena dalam melakukan setiap aktivitasnya sebagian besar kita berada dalam lingkaran sosial, maka kedua sistem ini berkaitan. Sistem sosial sebenarnya adalah akumulasi sistem personal. Jadi jika kita ingin mengubah budaya Ndadak ini, maka yang pertama kali perlu untuk dilakukan adalah menghilangkan kebiasaan buruk ini pada diri kita masing-masing. Jika semua orang melakukannya maka sistem sosial juga akan berubah.

Budaya Ndadak oleh pelajar
Ndadakisme yang sering dilakukan pelajar adalah dalam hubungannya dengan persiapan ujian. Baik ulangan harian, semester atau UNAS. Dalam ulangan kita sering Ndadak menyiapkan diri dengan belajar SKS (sistem kebut semalam).
Dalam UNAS juga begitu, hal yang amat menentukan kelulusan ini kita persiapkan hanya dalam waktu—maksimal—satu semester, bahkan banyak yang baru merasa gelisah jika sudah memasuki H-7. Padahal ini bisa kita antisipasi dalam jangka waktu seluruh masa studi kita. Ada tiga tahun untuk mempersiapkan semuanya. Jika dalam pelajaran ada yang tidak kamu pahami, mengapa malu untuk bertanya? Ke”malu”an untuk bertanya itu sangat memalukan, yang akhirnya menumpuk selama tiga tahun menjadi ketidakpahaman yang baru kita sadari pada saat mengerjakan soal. Semoga tidak!!